Jumat, 06 Mei 2011

Sepuluh Murid Baru


1.      
                                          i.    1: Sepuluh Murid Baru
PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas. Sebatang pohon tua yang riang meneduhiku. Ayahku duduk di sampingku, memeluk pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada setiap orangtua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret di bangku panjang lain di depan kami. Hari itu adalah hari yang agak penting: hari pertama masuk SD. Di ujung bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen pintu itu miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Di mulut pintu berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam perhelatan. Mereka adalah seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus.Seperti ayahku, mereka berdua juga tersenyum.
Namun, senyum Bu Mus adalah senyum getir yang dipaksakan karena tampak jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali menghitung jumlah anak-anak yang duduk di bangku panjang. Ia demikian khawatir sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke pelupuk matanya. Titik-titik keringat yang bertimbulan di seputar hidungnya menghapus bedak tepung beras yang dikenakannya, membuat wajahnya coreng moreng seperti pameran emban bagi permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami. “Sembilan orang … baru sembilan orang Pamanda Guru,masih kurang satu…,” katanya gusar pada bapak kepala sekolah.Pak Harfan menatapnya kosong.Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus yang resah dan karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur tubuhku. Meskipun beliau begitu ramah pagi ini tapi lengan kasarnya yang melingkari leherku mengalirkan degup jantung yang cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami.
“Kasihan ayahku …..Maka aku tak sampai hati memandang wajahnya.“Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan sekolah, dan mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu-sepupuku, menjadi kuli …..Tapi agaknya bukan hanya ayahku yang gentar. Setiap wajah orangtua di depanku mengesankan bahwa mereka tidak sedang duduk di bangku panjang itu, karena pikiran mereka, seperti pikiran ayahku, melayang-layang ke pasar pagi atau ke keramba di tepian laut membayangkan anak lelakinya lebih baik menjadi pesuruh di sana. Para orangtua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini mereka terpaksa berada di sekolah ini untuk menghindarkan diri dari celaan aparat desa karena tak menyekolahkan anak atau sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru, tuntutan memerdekakan anak dari buta huruf.
Aku mengenal para orangtua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali seorang anak lelaki kecil kotor berambut keriting merah yang meronta-ronta dari pegangan ayahnya. Ayahnya itu tak beralas kaki dan bercelana kain belacu. Aku tak mengenal anak beranak itu.Selebihnya adalah teman baikku. Trapani misalnya, yang duduk di pangkuan ibunya, atau Kucai yang duduk di samping ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapa-siapa. Kami bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu belitong dari sebuah komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah kampung yang paling miskin di Belitong. Ada tiga alasan mengapa para orangtua mendaftarkan-anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan iuran dalam bentuk apa pun, para orangtua hanya menyumbang sukarela semampu mereka. Kedua, karena firasat,-anak-anak mereka dianggap memiliki karakter yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapatkan pendadaran Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun.
Bu Mus yang semakin khawatir memancang pandangannya kejalan raya di seberang lapangan
sekolah berharap kalau-kalau masih ada pendaftar baru . Kami prihatin melihat harapan hampa itu. Maka tidak seperti suasana di SD lain yang penuh kegembiraan ketika menerima murid angkatan baru, suasana hari pertama di SD Muhammadiyah penuh dengan kerisauan, dan yang paling risau adalah Bu Mus dan Pak Harfan.
Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di Belitong ini harus ditutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas sebab sekolah mereka akan tamat riwayatnya,sedangkan para orangtua cemas karena biaya, dan kami, sembilan anak-anak kecil ini yang terperangkap di tengah cemas kalau- kalau kami tak jadi sekolah.
Tahun lalu SD Muhammadiyah hanya mendapatkan sebelas siswa, dan tahun ini Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target sepuluh. Maka diam-diam beliau telah mempersiapkan sebuah pidato pembubaran sekolah di depan para orangtua murid pada kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau hanya memerlukan satu siswa lagi untuk memenuhi target itu menyebabkan pidato ini akan menjadi sesuatu yang menyakitkan hati.
“Kita tunggu sampai pukul sebelas,” kata Pak Harfan pada Bu Mus dan seluruh orangtua yang telah pasrah. Suasana hening.
Para orang tua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai pertanda bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaik nya didaftarkan pada para juragan saja. Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada orangtua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat kami untuk belajar tapi tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan satu murid. Kami menunduk dalam-dalam.
Saat itu sudah pukul sebelas kurang lima dan Bu Mus semakin gundah. Lima tahun pengabdiannya di sekolah melarat yang amat ia cintai dan tiga puluh dua tahun pengabdian tanpa pamrih pada Pak Harfan, pamannya, akan berakhir di pagi yang sendu ini.“Baru sembilan orang Pamanda Guru …,” ucap Bu Mus bergetar sekali lagi. Ia sudah tak bisa berpikir jernih. Ia berulang kali mengucapkan hal yang sama yang telah diketahui semua orang.Suaranya berat selayaknya orang yang tertekan batinnya.
Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewat lima dan jumlah murid tak juga genap sepuluh. Semangat besarku untuk sekolah perlahan-lahan runtuh. Aku melepaskan lengan ayahku daripundakku. Sahara menangis terisak-isak mendekap ibunya karena ia benar-benar ingin sekolah di SD Muhammadiyah. Ia memakai sepatu, kaus kaki, jilbab, dan baju, serta telah punya buku-buku,botol air minum, dan tas punggung yang semuanya baru.
Pak Harfan menghampiri orangtua murid dan menyalami mereka satu per satu. Sebuah pemandangan yang pilu. Para orangtua menepuk-nepuk bahunya untuk membesarkan hatinya. Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak Harfan berdiri di depan para orangtua, wajahnya muram. Beliau bersiap-siap memberikan pidato terakhir. Wajahnya tampak putus asa. Namun ketika beliau akan mengucapkan kata pertama Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat karena Tripani berteriak sambil menunjuk ke pinggir lapangan rumput luas halaman sekolah itu.
“Harun!.
Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalar terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Seorang wanita gemuk setengah baya yang berseri-seri susah payah memeganginya. Pria itu adalah Harun, pria jenaka sahabat kami semua, yang sudah berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya. Ia sangat gembira dan berjalan cepat setengah berlari tak sabar menghampiri kami. Ia tak menghiraukan ibunya yang tercepuk-cepuk kewalahan menggandeng-nya. Mereka berdua hampir kehabisan napas ketika tiba di depan Pak Harfan.
“Bapak Guru …, ” kata ibunya terengah-engah.
“Terimalah Harun, Pak, karena SLB hanya ada di Pulau Bangka, dan kami tak punya biaya untuk menyekolahkannya ke sana. Lagi pula lebih baik kutitipkan dia disekolah ini daripada di rumah ia hanya mengejar -ngejar anak-anak ayamku ….. Harun tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang kuning panjang-panjang. Pak Harfan juga terseyum, beliau melirik Bu Mussambil mengangkat bahunya.“Genap sepuluh orang …,” katanya.Harun telah menyelamatkan kami dan kami pun bersorak.Sahara berdiri tegak merapikan lipatan jilbabnya & menyandang tasnya dengan gagah, ia tak mau duduk lagi.Bu Mus tersipu. Air mata guru muda ini surut dan ia menyeka keringat di wajahnya yang belepotan karena bercampur dengan bedak tepung beras.
Sumber :

Pujian untuk Laskar Pelangi


2. Pujian untuk Laskar Pelangi
 “Saya larut dalam empati yang dalam sekali. Sekiranya novel ini difilmkan, akan dapat membangkitkan ruh bangsa yang sedang mati suri.” --Ahmad Syafi’I Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah.
“Ramuan pengalaman dan imajinasi yang menarik, yang menjawab inti pertanyaan kita tentang hubungan-hubungan antara gagasan sederhana, kendala, dan kualitas pendidikan.” --Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI.
“Cerita Laskar Pelangi sangat inspiratif. Andrea menulis sebuah novel yang akan mengobarkan semangat mereka yang selalu dirundung kesulitan dalam menempuh pendidikan.” --Arwin Rasyid, Dirut Telkom dan Dosen FEUI.
“Inilah cerita yang sangat mengharukan tentang dunia pendidikan dengan tokoh-tokoh manusia sederhana, jujur, tulus,gigih, penuh dedikasi, ulet, sabar, tawakal, takwa, [yang]dituturkan secara indah dan cerdas. Pada dasarnya kemiskinan tidak berkorelasi langsung dengan kebodohan atau kegeniusan.Sebagai penyakit sosial, kemiskinan harus diperangi dengan metode pendidikan yang tepat guna. Dalam hubungan itu hendaknya semua pihak berpartisipasi aktif sehingga terbangun sebuah monumen kebajikan di tengah arogansi uang & kekuasaan materi.” --Korrie Layun Rampan, sastrawan dan Ketua Komisi I DPRD Kutai Barat.
“Di tengah berbagai berita dan hiburan televisi tentang sekolah yang tak cukup memberi inspirasi dan spirit, maka buku ini adalah pilihan yang menarik. Buku ini ditulis dalam semangat realis kehidupan sekolah, sebuah dunia tak tersentuh, sebuah semangat bersama untuk survive dalam semangat humanis yang menyentuh.” --Garin Nugroho, sineas.
“Andrea Hirata memberi kita syair indah tentang keragaman dan kekayaan tanah air, sekaligus memberi sebuah pernyataan keras tentang realita politik, ekonomi, dan situasi pendidikan kita. Tokoh-tokoh dalam novel ini membawa saya pada kerinduan menjadi orang Indonesia…. A must read!!!”--Riri Riza, sutradara
“Sebuah memoar dalam bentuk novel yang sulit dicari tandingannya dalam khazanah kontemporer penulis kita.” --Akmal Nasery Basral, jurnalis-penulis
 “Saya sangat mengagumi Novel Laskar Pelangi karya Mas Andrea Hirata. Ceritanya berkisah tentang perjuangan dua orang guru yang memiliki dedikasi tinggi dalam dunia pendidikan.[Novel ini menunjukkan pada kita] bahwa pendidikan adalah memberi hati kita kepada anak-anak, bukan sekadar memberikan instruksi atau komando, dan bahwa setia panak memiliki potensi unggul yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang pada masa depan, apabila diberi kesempatan dan keteladanan oleh orang-orang yang mengerti akan makna pendidikan yang sesungguhnya.” --Kak Seto, Ketua Komnas Perlindungan Anak
“Andrea berhasil menyajikan kenangannya menjadi cerita yang menarik. Apalagi dibalut sejumlah metafora dan deskripsi yang kuat, filmis ketika memotret lanskap dan budaya….” --Majalah Tempo
 “Novel tentang dunia anak-anak yang mencuri perhatian.Berhasil memotret fakta pendidikan dan ironi dunia korporasi di tengah komunitas kaum terpinggirkan.”--Gerard Arijo Guritno, Majalah Gatra
“Secuil potret pendidikan di negara kita yang memprihatinkan.” --Majalah Femina
“Seru! Novel ini tidak mengajak pembaca menangisi kemiskinan, sebaliknya mengajak kita memandang kemiskinan dengan cara lain.”--Koran Tempo
 “Sebuah kisah tentang anak-anak yang luar biasa, yang mampu melahirkan semangat serta kreativitas yang mencengangkan.”--Harian Pikiran Rakyat
“Metafora-metafora yang ditulis Andrea demikian kuat karena unik dan orisinal.” --Harian Tribun Jabar
“Kehadiran novel realis ini membawa angin segar bagi kesusastraan Indonesia.”-Harian Media Indonesia
“Kita akan tertawa, menangis, dan merenung bersama buku ini.”--Harian Belitung Pos
“Rasa humor yang halus dan luasnya cakrawala pengetahuan Andrea adalah daya tarik utama Laskar pelangi.” --Harian Bangka Pos
“Gaya bahasa yang mengasyikkan, menantang untuk dibaca.”--Harian galamedia
“Sebagai penulis pemula, Andrea menakjubkan karena mampu menampilkan deskripsi dengan detail yang kuat.” --Tabloid Indago
“Ketika membaca Laskar Pelangi, kita seolah menemukan gabriel Garcia Marquez, Nicolai Gogol, atau Alan Lightman,sebuah bacaan yang sangat inspiratif dan mampu memberi kekuatan.” --www.indosiar. com
“Buku Laskar Pelangi memberiku semangat baru yang tak ternilai untuk mengajar murid-murid meskipun kami selalu dirundung kesusahan demi kesusahan, meskipun dunia tak perduli. Buku ini membuatku sangat bangga menjadi seorang guru.”--Herni Kusyari, guru SD di daerah terpencil.
“Andrea seperti sedang trance, menulis Laskar Pelangi dengan kadar emosi demikiankental, bertabur metafora penuh pesona,hanya dalam waktu tiga pekan. ”--Rita Achdris, wartawati Majalah Gatra
Spekulasi tentang trance ketika ia menulis, setiap kata dalam Laskar Pelangi berasal dari dalam hati Andrea. Moralitas hubungan antar ibu, anak, guru, dan murid sangat instingtif dan memikat. Sebagai seorang ibu, aku dapat merasakan buku ini memiliki semacam tenaga telepatik.”--Ida Tejawiani, ibu rumah tangga
“Yang trance bukan Andrea, tapi pembacanya….” --Fadly Arifin, dikutip dari milis pasar buku
“Kekuatan deskripsi Andrea membuatku ingin sekali berjumpa dengan setiap anggota Laskar Pelangi. Kekuatan karakter tokoh-tokohnya membuatku ingin berbuat sesuatu untuk membantu murid-murid cerdas yang miskin. Laskar Pelangi adalah sebuah buku yang sangat menggerakkan hati untuk berbuat lebih banyak.” --Febi Liana, karyawati di Jakarta, pencinta buku
Buku ini kupersembahkan untuk: Guruku Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendy Noor, Sepuluh sahabat masa kecilku anggota Laskar Pelangi,
Ucapan Terima Kasih..
Ucapan terima kasih kusampaikan kepada Ally, Katja Kochling, Saskia de Rooij, Basuni Hamin, Cindy Riza Stella, Heldy Suliswan Hirata, Yan Sancin, Zaharudin, Roxane, Resval, Gatot Indra, Olan, Hazuan Seman Said, K.A. Arizal Artan,Okin di Telkom Jember, dan terutama untuk Mas Gangsar Sukrisno serta Mbak Suhindratia. Shinta di Bentang Pustaka.
Sumber :
Tentang Penulis
“… and to every action there is always an equal  and opposite or contrary, reaction …”Isaac newton, 1643-1727
Sumber :

SINOPSIS LASKAR PELANGI


1.     Sinopsis Laskar Pelangi
Laskar Pelangi adalah novel pertama karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2005. Novel ini bercerita tentang kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang bersekolah (SD dan SMP) di sebuah sekolah Muhammadiyah di Belitung yang penuh dengan keterbatasan. Mereka adalah:
  1. Ikal aka Andrea Hirata
  2. Lintang; Lintang Samudra Basara bin Syahbani Maulana Basara
  3. Sahara; N.A. Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim Ramdhani Fadillah
  4. Mahar; Mahar Ahlan bin Jumadi Ahlan bin Zubair bin Awam
  5. A Kiong (Chau Chin Kiong); Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman
  6. Syahdan; Syahdan Noor Aziz bin Syahari Noor Aziz
  7. Kucai; Mukharam Kucai Khairani
  8. Borek aka Samson
  9. Trapani; Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari
  10. Harun; Harun Ardhli Ramadan bin Syamsul Hazana Ramadan
Mereka bersekolah dan belajar pada kelas yang sama dari kelas 1 SD sampai kelas 3 SMP, dan menyebut diri mereka sebagai Laskar Pelangi. Pada bagian-bagian akhir cerita, anggota Laskar Pelangi bertambah satu anak perempuan yang bernama Flo, seorang murid pindahan. Keterbatasan yang ada bukan membuat mereka putus asa, tetapi malah membuat mereka terpacu untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih baik.
Laskar Pelangi merupakan buku pertama dari Tetralogi Laskar Pelangi. Buku berikutnya adalah Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov. Buku ini tercatat sebagai buku sastra Indonesia terlaris sepanjang sejarah.

Daftar Isi Laskar Pelangi

DAFTAR ISI (DAFTAR BAGIAN) LASKAR PELANGI; BACA BARENG DAN REVIEW
Daftar Bagian :
1.       Sinopsis
2.       Pujian dan Ucapan terima kasih
3.       Cerita
                                          i.    1:  Sepuluh Murid baru
                                         ii.    2: Antediluvium
                                       iii.    3: Inisiasi
                                        iv.    4: Perempuan-Perempuan Perkasa
                                         v.    5: The Tower of Babel
                                        vi.    6: Gedong
                                       vii.    7: Zoom Out
                                     viii.    8: Center of Excellence
                                       ix.    9: Penyakit Gila No. 5
                                         x.    10: Bodenga
                                       xi.    11: Langit Ketujuh
                                      xii.    12: Mahar
                                     xiii.    13: Jam Tangan Plastik Murahan
                                     xiv.    14: Laskar Pelangi dan Orang-Orang Sawang
                                       xv.    15: Euforia Musim Hujan
                                     xvi.    16: Puisi Surga dan Kawanan Burung Pelintang Pulau
                                    xvii.    17: Ada Cinta di Toko Kelontong Bobrok Itu
                                   xviii.    18: Moran
                                     xix.    19: Sebuah Kejahatan Terencana
                                      xx.    20: Miang Sui
                                     xxi.    21: Rindu
                                   xxii.    22: Early Morning blue
                                  xxiii.    23: Billitonite
                                   xxiv.    24: Tuk Bayan Tula
Bab 25 Rencana B
Bab 26 Be There or Be Damned!
Bab 27 Detik-Detik Kebenaran
Bab 28 Societeit de Limpai
Bab 29 Pulau Lanun
Bab 30 Elvis Has Left the Building2
Dua belas tahun kemudian
Bab 31 Zaal Batu
Bab 32 Agnostik
Bab 33 Anakronisme
Bab 34 Gotik
Glosarium